Peran "Pak Tua" dalam Polemik Dinas Pendidikan Langkat

Table of Contents

Ilustrasi seorang Pak Tua

BERITA LANGKAT - Di salah satu warung kopi Stabat, satu nama kerap jadi bahan bisik-bisik para pengunjung: Pak Tua.

Sosok pria berambut putih yang selalu hadir dalam berbagai peran, meskipun profesinya masih menjadi tanda tanya besar bagi banyak orang.

Kadang ia tampil sebagai praktisi hukum, lain waktu ia berperan seperti jurnalis, bahkan tak jarang bertindak layaknya seorang sekretaris pribadi tokoh penting.

Namun, satu yang pasti, Pak Tua selalu ada dalam setiap pusaran isu penting, terutama yang berkaitan dengan pemerintahan.

Kali ini, namanya kembali mencuat dalam kisah pelik dunia pendidikan Langkat. Isu yang berkembang menyebutkan bahwa Pak Tua menjadi pembela setia mantan Kepala Dinas Pendidikan yang tersandung kasus seleksi Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK).

Drama baru ini bermula ketika posisi Pelaksana Harian (PLH) Kepala Sekolah yang ditunjuk tidak sesuai dengan keinginan Pak Tua.

Di balik layar, konon Kelompok Kerja Kepala Sekolah (K3S) berupaya menghadap Pak Tua, berharap dukungannya agar PLH kepala sekolah yang merupakan kebijakan Kadis Pendidikan lama tetap dipertahankan. Dari sinilah drama mulai terjadi.

Drama Politik atau Pembelaan?

Seolah skenario telah disusun, muncul berbagai narasi di kalangan masyarakat. Ada yang mengatakan bahwa pergantian kepala sekolah ini sarat dengan unsur upeti.

Ada pula yang meyakini bahwa ini adalah bentuk pendzoliman, mirip dengan drama yang dulu terjadi saat Kadis Pendidikan Lama menghadapi kasus P3K.

Tak hanya itu, rumor lain menyebut bahwa Pak Tua memiliki jaringan kuat hingga ke Sekretaris Daerah (Sekda), bahkan konon ia mampu mengatur pertemuan penting dan mempengaruhi kebijakan yang diambil.

Jika benar, hal ini tentu menjadi pertanyaan besar: Siapa sebenarnya Pak Tua ini?

Sosok Misterius di Balik Kuasa

Sikap Pak Tua yang selalu berusaha memengaruhi keputusan-keputusan strategis membuat banyak orang bertanya-tanya: Apa sebenarnya profesinya? Mengapa ia begitu aktif dalam berbagai urusan yang sebenarnya bukan wewenangnya?

Satu hal yang pasti, Pak Tua bukan sekadar penikmat kopi yang duduk manis di warung.

Ia adalah aktor di balik layar yang kerap muncul di momen-momen penting, entah sebagai pembela, perantara, atau bahkan pengatur strategi.

Seiring dengan terus bergulirnya isu ini, masyarakat hanya bisa menunggu: Apakah Pak Tua kembali berhasil mengendalikan situasi? Ataukah drama kali ini justru akan membuka tabir siapa dia sebenarnya?. (**)

Sejasa Net